Jennie M. Xue

Why I'm not an atheist like other humanists

by Jennie S. Bev

Whether or not you are an atheist, it is likely that you were born with a certain proclivity toward faith. Just like being born with a certain color of eyes and hair, or sexual orientation, you may have a predisposition to a heightened level of spiritual consciousness. 

According to neuropsychologist Brick Johnstone of Missouri University’s School of Health Professions, those with an injury to the right parietal lobe are likely to feel closer to God. Due to this correlation, Johnstone describes this portion of the brain as the “God spot."

Thus, being an atheist or a believer may very well have something to do with how active one’s “God spot” is, even though Johnstone also points out that spirituality is a complex matter and cannot be simplistically reduced to the level of activity of certain parts of the brain. And I cannot agree more.

As a person who believe in science and scientific endeavors rather than dogmas, the logical consequence for me is to become an atheist. For a humanist, being an atheist should come as a natural complement of beliefs. Many famous atheists are humanists and vice versa, such as Jeremy Bentham, Noam Chomsky, Karl Marx, Hellen Keller, Ayn Rand, Hannah Arendt, Pablo Neruda, Mark Twain, Virginia Woolf, Ayaan Hirsi Ali, and Julian Assange. 

However, for some reason, I have failed as an atheist. Now, I have accepted that I am a believer in God, or an agnostic, if we want to label it with a name. It is possible that my right parietal lobe of the brain is not that active, or there is a list of complex and intertwined reasons on why I still believe in God.

Menapaki awan Napa Valley

oleh Jennie S. Bev

Download COSMOPOLITAN Menapaki Awan Napa Valley in PDF

(Baca artikel yang telah diedit dan diterbitkan oleh Cosmopolitan.)

Mengamati perang antar kelas di AS dan Indonesia

Yang perlu Indonesia pelajari adalah bagaimana me-manage perang antar kelas supaya tidak bermuara kepada kekerasan.

CALIFORNIA, Jaringnews.com - Di setiap masyarakat, class warfare atau perang antar kelas terjadi dan sangat menarik untuk diamati. Indonesia sendiri adalah masyarakat yang terstratifikasi secara signifikan, di mana kaum feudal aristokrat, para feodal modern, dan para rakyat jelata baik yang berpendidikan tinggi maupun yang tidak, membentuk struktur sosial yang beragam, lengkap dengan kecenderungan-kecenderungan religiositas yang berbeda-beda intensitas nuansanya. Berbagai variabel, seperti kekuatan ekonomi dan mindset akan entitlement terhadap kekayaan dan pemerataannya turut membentuk dan mengarahkan pertentangan antar kelas.

Di Amerika Serikat, class warfare terjadi antara one-percenters dengan 99-percenters yang diwarnai dengan Occupy Movement, antara pendukung republikan dengan demokrat, antara pembayar pajak berdasarkan pendapatan yang diraih (earned income) dengan para pembayar pajak berpendapatan berdasarkan capital gain dan passive income (unearned income), antara mereka yang bermindset “sukses finansial diperoleh dengan kerja keras, bukan dengan meminta bantuan pemerintah” dan mereka yang bermindset “distribusi kekayaan wajib dilakukan untuk pemerataan kesejahteraan.” Indahnya, di Negeri Paman Sam ini, economic equalitymempersatukan konservatisme filosofis dengan liberalisme operasional, sehingga perang antar kelas ini terbatasi secara elegan.

Namun sebenarnya perang antar kelas di dalam masyarakat AS terjadi dalam relativitas yang tinggi, artinya tidak sedahsyat yang diumbar oleh para politisi dan pengamat politik dan ekonomi. Ide-ide tentang class warfare kebanyakan terjadi dalam skala diskursus, sehingga ini lebih merupakan “perang pemikiran” daripada realitas fisik. Ini bisa diamati dari suasana politik yang tidak mempunyai konflik keras yang berarti. Konflik kebanyakan terjadi dalam tingkat konseptual dan debat yang bisa diikuti alur pemikirannya.

The JOBS Act, the US economy and Indonesia

by Jennie S. Bev

U.S. President Barack Obama signed the JOBS (Jumpstart Our Business Startups) Act into law on April 5, 2012. It is not a cure-all that would directly create jobs but an intervention that encourages job formation through easier access to capital to boost businesses. The payoff is to encourage investments, backed by statistics such as a study that shows a single angel investment can create on average six new jobs. 

It also proposes three payroll tax cuts, reforms unemployment insurance to ensure 6 million people don’t lose their benefits, reemployment assistance, startup assistance, and subsidizing employment for low-income youths. The most interesting provision in JOBS Act is probably the crowdfunding section, a financing technique that allows a large group of investors to contribute money for a single investment, usually via the Internet. The crowdfunding in this act would create a ripple effect to businesses worldwide, not just U.S. companies. The JOBS Act means that Indonesian companies now have a rare opportunity to take advantage of a U.S. policy.

Considering President Obama has been using crowdfunding for his presidential campaign, it is expected to work well for business funding in a slow economy, where bank loans are harder to get. The provision liberates companies to both stay private longer and to go public as soon as possible. It also provides an unprecedented opportunity for non-U.S. “emerging growth companies” (EGCs) to enter the U.S. market, because the provision doesn’t distinguish between U.S. and non-U.S. companies. In fact, it encourages U.S. and non-U.S. exchanges to seamlessly occur.

Mitos kekalahan branding USA

Download Mitos Kekalahan Branding USA (KONTAN Kolom Manajemen)

oleh Jennie S. Bev

(Versi yang belum diedit.)

Presiden Barack Obama menandatangani JOBS Act (Jumpstart Our Business Startups Act) pada 5 April 2012. JOBS Act ini memberikan banyak keringanan bagi usaha-usaha kecil dan menengah di AS, serta memberikan insentif pajak dan kredit bagi employer dan pemilik usaha. UU ini juga memberikan kesempatan luar biasa bagi usaha-usaha dalam berbagai skala untuk melakukan pengumpulan modal, termasuk berbagai kemudahan dalam melakukan IPO (Initial Public Offering) di Pasar Modal AS.

Uniknya, perusahaan-perusahaan non-AS juga diberikan kemudahan untuk melakukan IPO, termasuk yang berasal dari Indonesia. Secara eksplisit, JOBS Act menyebutkan dukungan bagi saham-saham dari negara berkembang untuk memasuki US Stock Exchange.

Setelah empat tahun sejak implosi dunia finansial dengan runtuhnya Lehman Brothers, AS telah mencapai titik terendah resesi dan berbagai gejala telah menunjukkan perbaikan ekonomi. Dimulai dengan pasar properti yang membaik di wilayah-wilayah metro tertentu, seperti di San Francisco Bay Area, sampai dengan kenaikan ekspor dan kenaikan jumlah turis yang signifikan.

Humanism, an alternative to institutionalized religions

by Jennie S. Bev

Religion is like a coin with two sides. It can make you softer or harder; more compassionate or full of hatred; work efficiently because you believe working is praying or totally don’t work at all but spend your days praying in solitude. Having an institutionalized religion means you believe and adhere to dogmas, whatever they may ask you to do, including those that could cause harm to others.

Humanism as an alternative to having an institutionalized religion is acknowledging and accepting the simple fact that we are humans with humanly qualities and that we are not “special” in anyway because we have the highest intellectual capacity among earthlings. 

We are simply the product of a successful and not-so-successful biological evolution. It is a philosophy, a way of life, and provides guidelines for solving problems. Oftentimes, an individual is already a humanist by default, but doesn’t realize it.

Insentif pajak bagi neksus

Download KONTAN Insentif Pajak Bagi Neksus

oleh Jennie S. Bev

(Edisi yang belum diedit.)

Cupertino salah satu kota di Silicon Valley yang ternama dengan Apple, Steve Jobs dan Steve Wozniak terletak hanya 50 menit dari kediaman saya. Banyak yang mengira bahwa Cupertino adalah tempat kelahiran dan neksus resmi Apple. Neksus (atau “nexus”) sendiri adalah terminologi yang berarti “hubungan relasional dengan suatu tempat atau tempat sebagai pusat.” Dalam konteks perpajakan dan hukum, “nexus” berarti domisili perpajakan dan domisili hukum.

Dalam bisnis global yang sekarang terpompa dengan Internet yang memungkinkan neksus terpisah dari lokasi fisik, ini merupakan kesempatan emas bagi negara-negara yang mempunyai sumber daya alam terbatas dan mengandalkan sektor-sektor intelektual. Singapura, Luxembourg dan Irlandia, misalnya sangat terbuka bagi investasi asing termasuk yang bersifat bisnis virtual dengan pajak pendapatan yang rendah (low income tax rate).

Tax planning seperti ini dimanfaatkan oleh Apple yang bisa menjadi benchmark case study bagi perusahaan-perusahaan lain.  Di Irlandia, misalnya, pajak pendapatan hanya 12.5 persen sedangkan di California 35 persen. Negara bagian Nevada dan Delaware juga menarik karena tidak menarik capital gain tax dan corporate income tax. Ini juga menjawab mengapa Zappos berbasis di Nevada lengkap dengan call center dan warehouse-nya. Juga bisa dijumpai subsidiaries Cisco, Microsoft, Harley-Davidson dan lain-lainnya di dua negara bagian ini.