[Di bawah adalah versi yang belum diedit.]
oleh Jennie S. Bev
Presiden SBY mentargetkan pertumbuhan ekonomi 7 persen di 2014 serta memotong emisi 26 persen. Di Kopenhagen, SBY mengumumkan rencana untuk membentuk the Indonesia Green Investment Fund sebagai katalis pembangunan infrastruktur yang dapat melipatgandakan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan produksi pangan, dan memproduksi air bersih. Green investment fund ini bukan untuk memberikan kredit atau grant, namun menambahkan pembiayaan bagi proyek-proyek di mana bank pemberi kredit memerlukan injeksi modal ekstra.
Sebenarnya apa sih “green funding”? Apa mitos dan realitanya?
Green funding bisa dilihat dari beberapa aspek. Pertama, scope of business yang positif dan membangun lingkungan dan peradaban, seperti program-program lingkungan, konservasi sumber daya alam, fair trade dan sebagaimana. Sebaliknya, scope of business yang negatif, misalnya: alkohol, senjata api, rokok, perjudian, kosmetik dengan animal test, serta manufaktur yang menghasilkan poisonous waste ke dalam lingkungan.
Kedua, green funding juga mencakup performance yang socially responsible, di mana tidak hanya menghasilkan limbah yang ramah lingkungan, namun juga input langsung dan tidak langsung-nya berasal dari elemen-elemen yang minimal social cost dan social debt-nya. Selain itu, financial performance-nya juga harus positif yang berasal dari socially-conscious investment.
Ketiga, green funding atau kendaraan investasi lainnya yang hanya menanamkan modal di perusahaan-perusahaan yang sadar lingkungan sosial dalam setiap tindakan bisnis mereka dengan tujuan mempromosikan tanggung jawab lingkungan. “Green fund” bisa dijumpai baik dalam business scope yang tidak spesifik “hijau” atau “sangat hijau” seperti tenaga alternatif, transportasi ramah lingkungan, manajemen air dan sampah, dan gaya hidup berkesinambungan (sustainable).