Download KONTAN Weekly Grow Global
oleh Jennie S. Bev
Hard skills, seperti ketrampilan IT, keuangan, akunting, dan technical writing jauh lebih mudah untuk dikenali, diukur, dan dibandingkan. Soft skills, seperti customer service, sales, dan cultural capital sulit untuk diuji, diukur, dan dibandingkan mengingat setiap orang mempunyai pendekatan berbeda-beda. Di era globalisasi sekarang, baik hard maupun soft skills mempunyai kesempatan untuk berkembang secara eksponensial.
Ekonomi semakin mengglobal mengingat Internet mempunyai karakteristik lintas batas yang luar biasa. Pekerjaan-pekerjaan yang dulu tidak mempunyai tempat di negara-negara tertentu, kini sudah dengan mudah ditransfer. Bisnis-bisnis era pasca-industri merambah ke negara-negara dunia ketiga.
Ini kesempatan emas bagi yang menguasai kapital kultural dan ketrampilan yang menonjol dalam skala intensitas internasional. Going global seringkali diperlukan dengan growing global di dalam ekonomi global.
Dua dekade lalu, mungkin sulit dibayangkan mempunyai seorang sekretaris yang bekerja di Filipina dengan nomor telpon AS, sedangkan sang direktur bekerja di California. Helpdesk IT bekerja dari Chennai di India dan desainer grafis bermukim di Shanghai Cina yang masing-masing berkomunikasi dengan Skype. Produk yang dipasarkan di Asia mempunyai alamat virtual di Singapura. Sedangkan Hong Kong menjadi pusat pemasaran di Asia dan New York City menjadi pusat di AS.
Dan semua itu dijalankan dengan biaya operasi relatif murah mengingat hanya membutuhkan Internet yang cepat dan lancar. Dari perspektif penyebaran pekerjaan, era global ini membuka pemerataan kesempatan bagi yang mampu dan memiliki akses.
Offshore outsourcing baik dalam bidang manufaktur maupun jasa-jasa pendamping dan administratif dapat dengan mudah dilakukan baik secara fisik maupun virtual. Namun soft skills memerlukan ekstra penangangan, mengingat “going global” itu mudah, yang sulit adalah “knowing local.”
Pernah saya perhatikan iklan produk minyak wangi dari perusahaan parfum internasional yang sudah “disesuaikan” dengan iklim kultur di Indonesia. Di AS, iklan yang identik menggambarkan seorang perempuan bergolek di padang rumput ditemani dengan seekor anak anjing yellow labrador yang imut. Mengingat saya penggemar anjing ras, betapa suka cita ketika melihat iklan tersebut di salah satu majalah wanita Indonesia. Ternyata, bagian anak anjing tersebut telah diedit.
McDonald’s, Burger King dan KFC di Indonesia menawarkan menu nasi, yang tidak bisa dijumpai di AS dan negara-negara Eropa. McDonald’s di India menawarkan Maharaja Mac yang tidak mengandung sapi serta McVeggie bagi para vegetarian. Penyesuaian produk relatif lebih mudah pelaksanaannya daripada adaptasi kultur perusahaan dan pengelolaan karyawan.
Neal R. Goodman, PhD seorang sosiolog pendiri Global Dynamics, Inc dikutip oleh Jan Yager, PhD dalam Grow Global mendefinisikan “cultural intelligence” sebagai pemahaman akan bagaimana me-leverage aturan main yang berbagai ragam dalam situasi-situasi kehidupan dan bisnis di seluruh dunia untuk mencapai competitive advantage. Tiga proses dalam meningkatkan sukses dalam bisnis global: kenali diri sendiri, kenali pihak lain, dan kenali jalan tengah.
Kenali diri sendiri berarti membuka diri akan kemampuan dan kapital kultural yang dimiliki. Inventarisasi kapital kultural bisa dilakukan dengan mengamati nilai-nilai yang dianut. Semakin luas ekspose akan kultur, semakin besar kemungkinan untuk menguasainya. Klise-klise setiap kultur tetap mempunyai nuansa berbeda, meningat setiap individu mempunyai kepribadian dan skills inventory yang berbeda pula.
Asumsi bahwa setiap orang Jepang introvert dan setiap orang Amerika ekstravert merupakan generalisasi yang berlebihan. Namun bahwa kultur Jepang lebih tertutup daripada kultur Amerika tentu relevan. Referensi ini mempunyai kesahihan yang telah teruji.
Para pekerja asal Filipino, misalnya, dikenal ramah dan siap membantu, namun juga mempunyai kultur yang “menyalahkan diri sendiri” atas suatu kesalahan. Daripada bertanya, menyalahkan diri “kurang mampu” lebih sering terjadi. Dengan mengenali kultur ini, komunikasi bisa diperbaiki.
Selain inventarisasi kapital kultural dengan mengenali diri sendiri, kenali juga pihak lain. Setiap kultur dan setiap orang mempunyai karakteristik sendiri yang mempunyai efek gabungan berbeda-beda. Inti dari kerja sama antar kultur dan antar individu seyogyanya berjalan dengan alami dan saling menghargai.
Penguasaan bahasa dengan aksen yang tepat sebagai bagian dari soft skills berperan penting dalam offshore outsourcing maupun doing business internationally. Going global by growing global sudah merupakan kewajaran dan konsekuensi suatu bisnis yang dimungkinkan dengan penguasaan teknologi dan kapital kultural.
Berbisnis di era teknologi ini sesungguhnya mengasyikkan, mengingat pasar bagi produk dan pasar kerja tidak lagi mempunyai batas-batas geografis.[]
KONTAN Weekly, 18-24 Maret 2013