Jennie M. Xue

2020 Megatrends and Indonesia

   

Download FORBES Indonesia April 2013

by Jennie S. Bev

This column is the first of two parts, the second will appear in the May issue.

Living in a modern society involves risks and some are bigger than others. In 2020, the world shall encounter an important milestone: make it or break it. According to economist Thierry Malleret, by that year the six global megatrends will be engendering worldwide instability: unfavorable demographics, resource scarcity, climate change, geopolitical rebalancing, indebtedness and fiscal issues, and rising inequalities.

The world population is aging. In developed and certain Asian countries, the birth rate is falling. Of course, Indonesia isn’t included, which is both a pro and a con. Approximately 4 million are born in Indonesia annually, which is almost the size of Singapore. Singapore itself is losing population rapidly, which it attempts to offset with encouraging immigration policies and supportive “pro baby” taxation provisions.

Japan’s labor force started to shrink in the 1980s, while South Korea and Taiwan will be losing population within 15 years. If Indonesia can manage its population well with meaningful social and vocational developments, it has an unprecedented opportunity to penetrate various job markets in Asia and, even, worldwide. The trend of elite “national plus” bilingual and trilingual K-12 schools is a good start in cultivating young leaders with an international attitude. The Philippines and India have been capitalizing on this trend. The former is now multinational corporations’ favorite destination for offshore call centers, while the latter is for offshore IT desks.

Religion is Sweet Poison, Heaven is a State of Mind

[Read on TheJakartaPost.com]

by Jennie S. Bev, Santa Clara

I’m a believer. I have written about this many times. I don’t deny that I still believe that Christ is the ultimate Savior and Saint Mary is the mother of all creatures, big and small. 

Yet, I also acknowledge that religion is a sweet poison. A poison we sometimes need to swallow deliberately to release us from worry and stress, to find solace in something we believe will be able to heal our broken hearts, and to give hope when things go awry in this uncertain and chaotic world. Yet, religion is so sweet a poison that if we take too big a dose, our sanity would collapse and vanish.

A person, after all, must be realistic enough to understand that salvation doesn’t come for free externally, but most importantly it comes through internal enlightenment. If you think that by joining a religion, then salvation comes as a complimentary bonus, well, that’s a part of the persuasive power of a poison. 

We need to save ourselves, first and foremost, by opening our hearts and minds. 

Grow Global, Suatu Kebutuhan

Download KONTAN Weekly Grow Global

oleh Jennie S. Bev

Hard skills, seperti ketrampilan IT, keuangan, akunting, dan technical writing jauh lebih mudah untuk dikenali, diukur, dan dibandingkan. Soft skills, seperti customer service, sales, dan cultural capital sulit untuk diuji, diukur, dan dibandingkan mengingat setiap orang mempunyai pendekatan berbeda-beda. Di era globalisasi sekarang, baik hard maupun soft skills mempunyai kesempatan untuk berkembang secara eksponensial.

Ekonomi semakin mengglobal mengingat Internet mempunyai karakteristik lintas batas yang luar biasa. Pekerjaan-pekerjaan yang dulu tidak mempunyai tempat di negara-negara tertentu, kini sudah dengan mudah ditransfer. Bisnis-bisnis era pasca-industri merambah ke negara-negara dunia ketiga.

Ini kesempatan emas bagi yang menguasai kapital kultural dan ketrampilan yang menonjol dalam skala intensitas internasional. Going global seringkali diperlukan dengan growing global di dalam ekonomi global.

Memilih Model Waralaba

Download KONTAN Weekly Memilih Model Waralaba

oleh Jennie S. Bev

Franchising dan licensing memungkinkan pertahanan terhadap segala cuaca ekonomi, termasuk dalam keadaan resesi. Dalam lima dekade terakhir, bisnis-bisnis berbasis franchise mencakup 50 persen dari semua penjualan retail. Franchising adalah sistem manajemen, juga sistem pemasaran, sistem distribusi dan pemicu pertumbuhan bisnis secara eksponensial.

Kapan sebaiknya dan apakah suatu bisnis sudah waktunya untuk go franchise? Apa saja resiko-resikonya? Apa fondasi yang baik bagi franchisor? Sebaiknya tipe franchise seperti apa yang ditawarkan kepada franchisee?

Kematangan suatu bisnis perlu diamati dari berbagai segi, tidak hanya dari pertumbuhan per tahun, market share, saturasi pasar, dan kesiapan ekspansi lainnya. Tidak jarang kita temui franchisor yang sesungguhnya belum mempunyai sistem yang baik untuk di-franchise-kan. Ini hanya menimbulkan kekecewaan dan litigasi atas wanprestasi dan ketimpangan antara janji dengan realita.

Era P2P Sharing Economy

Download PDF KONTAN Daily Era P2P Sharing Economy

oleh Jennie S. Bev    

Generasi Y mungkin merupakan generasi yang paling sadar lingkungan, peka akan keterbatasan yang disebabkan oleh ekonomi yang buruk, sederhana tanpa bling bling berlebihan, dan senang berbagi dan bersikap sosial terhadap sesama. Ini disebabkan antara lain karena situasi ekonomi global yang lebih suram daripada dua dekade lalu. Dunia juga semakin tanpa batas, malah luar biasa padat, panas, dan sesak dengan 7 miliar penduduknya.

Generasi Y sangat sadar akan betapa tidak pentingnya “gelar” dan “kedudukan” seseorang, karena dengan kejeniusan seseorang, dua hal ini tidaklah penting. Yang utama adalah kemampuan berinovasi alias berkarya. Yang kedua adalah kemampuan sharing alias berbagi akan apa yang dimiliki. Budaya sharing online dengan berbagai blog, twit, FaceBook notes, dan bisnis berbasis sharing seperti AirBnB.com yaitu penyewaan kamar di rumah perorangan.

Bisnis-bisnis berbasis sharing lainnya seperti DogVacay.com, TaskRabbit.com, GetAround.com, Zaarly.com, Lyst.com, LendingClub.com, Fon.com dan NeighborGoods.com berbasis peer-to-peer (P2P). Dulu ada B2C, B2B, dan C2C. Sekarang bentuknya adalah P2P karena para pengguna jasa saling berbagi di antara para pengguna jasa.

Serenity, Cleanliness and Lining Up

[Read directly at TheJakartaPost.com]

by Jennie S. Bev

I was born in the middle of Central Jakarta at RSIA YPK and raised in the surrounding area. By birth, I was a big city kid. By choice, I am a small town woman. 

A good friend who is a scholar at Deakin University in Melbourne, Australia, said a similar thing recently that she, too, is actually a small town woman.

She said, “Maybe you and I are the village kind of souls. We function best in serenity and calmness, and we value life over money and earthly possession. We are the odd ones out, according to the people of Jakarta.”

Jakarta is hectic, chaotic and never sleeps. Above all, living there is expensive despite the low quality of life. A high quality of life in a city comes with clean air, green with lush trees and public parks, minimal noise, closed sewage system, drinkable water, appreciation for beauty and art, sidewalks accessible to people with disabilities, clear roads with no visible pot holes nor large open holes, good waste management, clean roads, no visible trash and minimal people loitering on sidewalks, parking lots or in front of houses idling doing nothing. 

Poverty Business

Download PDF KONTAN Daily Poverty Business

oleh Jennie S. Bev

Walaupun GDP per kapita Indonesia telah mendekati USD 4000, sesungguhnya, kelas menengah bawah masih mendominasi struktur populasi. Di AS sendiri, yang berpendapatan kurang dari USD30.000 per tahun bisa digolongkan berpendapatan rendah. Mereka ini merupakan target empuk para pebisnis yang melihat pangsa pasar ini sebagai peluang. Di AS, ini disebut sebagai “poverty business.”

Salah satu bentuk “poverty business” yang laris di AS sekarang adalah “dollar store” alias “toko satu dollar.” Semua barang yang dijual seharga USD1, kecuali yang ditandai khusus. Di Indonesia, ada toko “lima ribu” yang serupa tapi tidak sama.

Indonesia juga dikenal dengan konsumtivisme yang tinggi di antara mereka yang berpenghasilan rendah. Packaging di Indonesia dikenal mungil-mungil yang telah “disesuaikan dengan kemampuan membeli” pasar. Sesungguhnya, ini meningkatkan profit margin sepanjang packaging cost bisa ditekan. 

Dengan kata lain, Indonesia merupakan pasar “poverty business” yang sangat luar biasa menggiurkan.

Bisnis 2020

Download PDF KONTAN Daily Bisnis 2020

oleh Jennie S. Bev

Bisnis di tahun 2020 akan seperti apakah? Mengapa tahun 2020 merupakan milestone penting bagi ekonomi global dan lokal? Apabila perubahan dan penyesuaian tidak terjadi, bagaimana masa depan dunia dan dunia ekonomi?

Pertama, konsensus di antara para pemikir and pemerintah dari negara-negara maju mengakui bahwa model ekonomi yang pasar-sentris mendominasi dunia dan dunia bisnis. Menurut Pavan Sukhdev dalam Why Corporation 2020? The Case for a New Corporation in the Next Decade, walaupun pasar-sentrisme telah mengangkat banyak orang dari kemiskinan, pasar bebas sangat rentan terhadap resesi, angkat pengangguran mudah naik-turun seiring dengan berbagai variabel yang langsung maupun tidak langsung menyentuhnya, meningkatkan jurang si kaya dan si miskin, merendahkan suplai air dan makanan, serta meningkatkan resiko-resiko ekologi.  

Saat ini, dunia tengah mengalami krisis yang salah satunya disebabkan oleh kegagalan kerja sama antar pemerintah berbagai negara dalam mengenali peran vital mengarahkan arah ekonomi dan sumber daya yang ada. Dunia bisnis perlu disertakan sebagai pelaku besar dalam penentu arah ekonomi dan merosotnya sumber daya alam dunia.

An Unlikely Asian Century

  

[Read directly at TheJakartaPost.com]
[Republished by Asia News Network.] 

by Jennie S. Bev, Santa Clara

The 19th century was the European century, the 20th century was the American century and the 21st century is believed to be an Asian century. While this century has 86 more years to go, Asia is unlikely to be the sole dominant political and cultural power. 

Out of the big Asian players, none has risen, nor is likely to rise, as the dominant power and the sum of all Asian countries isn’t likely to have the capacity to dominate the world.

First things first, the big Asian players, like China, India, Japan and Korea are busy with their own domestic issues. 

The populations of China and India come with their own social issues requiring tight control to prevent social chaos. Japan and Korea are busy with their economic agendas, ensuring that they get through the global crisis with flying colors. Korea with its unification plan needs all the political strength to focus on its success.

Antara Apple dan Amazon

oleh Jennie S. Bev

Apple bukan lagi perusahaan idaman? Turunnya 35% harga saham Apple setelah gross margin turun 38.6% baru-baru ini merupakan fenomena yang perlu diteliti. Apa penyebabnya? Mengapa pasar lebih mengampuni Amazon?

Nilai Apple sekarang USD300 miliar atau 2 kali omzet per tahun atau 7 kali profit USD40 per tahun. Turunnya saham Apple sebesar USD 238 miliar market cap adalah sebesar total nilai Wal-Mart. Bagi pasar saham, ini adalah ketenggelaman Titanik.

Anehnya, Amazon yang mengalami 45% penurunan laba bersih, hanya mengalami penurunan nilai saham 2.09%. Tampak bahwa pasar lebih mengampuni Amazon dari Apple, mengapa?