Download KONTAN Daily Uniknya Kepemimpinan Alex Ferguson
oleh Jennie S. Bev, Santa Clara
Pelatih sekaligus manajer Manchester United (MU) Sir Alex Ferguson telah pensiun dari tugasnya selama 26 tahun mendampingi para pemain sepak bola profesional. Diawali dengan karir semasa SMA di Glasgow, Skotlandia, Alex muda bermain dengan semangat walaupun harus naik-turun kendaraan umum 5 kali sepanjang 3 jam dalam satu kali perjalanan menuju tempat latihan. Ia perlu naik bis, kereta api, bis lagi, bis sekali lagi, dan taksi untuk mencapai tempat latihan seminggu sekali. Namun ini tidak memudarkan semangatnya.
Ketika ayahnya didiagnosa menderita kanker kolon (usus besar) sehingga dioperasi dan mengalami kemunduran fisik yang berarti, ia mulai bekerja sebagai atlet sepak bola profesional. Dengan bayaran pertama hanya 300 pound sterling sebagai bonus bergabung ke tim St. Johnstone setelah ke luar dari tim Queen’s Park, ia memasuki dunia baru.
Dunia ini ternyata menyerapnya hingga sekarang di usia senjanya 71 tahun. Beberapa kesan yang bisa kita ambil dari menonton pertandingan-pertandingan MU di layar kaca. Ia begitu emosional dan terkadang “kasar” penuh dengan amarah. Ia bahkan tidak segan-segan mengumbar emosi terhadap media, termasuk kepada BBC. Lantas, apakah gaya kepemimpinan seperti ini pantas ditiru?
Selama 26 tahun masa jabatannya, ia telah memenangkan 19 kali juara liga dan 2 tropi Liga Champions. Di tahun 2012, Manchester United merupakan klub sepak bola paling berharga di dunia dengan merek seharga milyar-an pound sterling. Menurut FIFA (The International Federation of Association Football), satu dari 25 orang di dunia bermain sepak bola secara rutin. Jumlah penonton pertandingan sepak bola Piala Dunia 2010 mencapai 2.2 milyar orang dan penonton pertandingan terakhirnya sebanyak 620 juta.
Pada tanggal 19 Mei 2013 yang baru lalu, Ferguson mengakhiri pertandingan terakhirnya dengan seri melawan West Bromwich Albion. Ini adalah pertandingan ke-1500 bagi Ferguson. Selama masa kepemimpinan Ferguson, MU telah mencatat 2.769 gol.
Betapa luar biasa prestasinya. Satu hal yang perlu kita catat di sini adalah: mencatat setiap kemenangan, baik kemenangan besar maupun kemenangan kecil. Ini bisa kita terapkan dalam karir dan bisnis kita. Berapa banyak pensil yang saya jual selama satu tahun? Berapa produksi sepatu yang dihasilkan selama satu bulan saya bekerja di pabrik ini? Berapa omzet keseluruhan dari kamar-kamar hotel yang saya jual selama bulan April?
Kuantifikasikan segala sesuatu yang bisa diukur. Simpan catatan itu, karena suatu hari pasti berguna. Paling tidak untuk dimasukkan ke dalam CV Anda ketika mencari pekerjaan baru.
Uniknya, pekerjaan sebagai manajer klub sepak bola profesional adalah salah satu profesi yang paling tinggi turnover-nya. Selain mempunyai tingkat stres yang tinggi, pekerjaan ini juga sangat membutuhkan kesabaran dan passion yaitu spirit yang sama akan antusias terhadap dunia sepak bola.
Singkat kata, mungkin kalau Anda bekerja sebagai penjual bolpen, Anda tidak perlu sangat mencintai bolpen karena masih ada pensil. Namun jika Anda adalah Ferguson, tanpa kecintaaan kepada sepak bola yang tinggi, mustahil bisa berhasil.
Empat gaya kepemimpinan Sir Alex Ferguson yang pantas kita kaji. Pertama, disiplin tanpa pandang bulu. Kedua, siap mengganti dan diganti. Ketiga, ROI jangka panjang. Keempat, suksesi berencana.
Disiplin tanpa pandang bulu. Ferguson dikenal sangat disiplin dan ketat. Ia juga senantiasa mengingatkan para pemain timnya untuk tidak terlena ketenaran, harta, dan pujian dari penggemar. Untuk itu, teguran-tegurannya sering kali terdengar “agak kasar.” Namun ia mempunyai alasan untuk itu. Para pemain timnya mayoritas sangat muda usianya, berkisar antara 17an, 20an, dan 30an. David Beckham yang sudah senior di MU saja baru 38 tahun usianya.
Pria-pria remaja dan dewasa penuh dengan adrenalin dan testosteron ini perlu kontrol yang ketat agar benturan-benturan hormon tidak menjadi masalah bagi tim. Ferguson “mengkontrol” ini dengan mengingatkan mereka sebagaimana “guru SMA yang galak.” Tentu saja gaya seperti ini sangat tidak masuk untuk diterapkan di kalangan berkerah putih, akademisi, dan saintis yang intelek.
Ia juga dikenal dengan “cepat mengganti” dan “cepat diganti” dengan mencari pemain-pemain muda berbakat dan memecat pemain-pemain bermasalah atau sudah mengalami penurunan prestasi. Ia percaya akan “darah segar” yang selalu mengalir di tubuh MU. Dan ia tidak segan memupuk mereka bertahun-tahun demi hasil gemilang. David Moyes penggantinya merupakan hasil pemilihan yang panjang dan seksama dengan menyamakan filsafat manajemen.
Singkat kata, Sir Alex Ferguson adalah pemimpin besar di tempat yang tepat dan di masa yang tepat. Adaptasi gaya kepemimpinannya perlu dilakukan dengan selektif dan disesuaikan dengan sikon yang ada. Mari kita tunggu Alex Ferguson lainnya.[]
KONTAN Daily, 19 Juli 2013