Download KONTAN Daily Quantitative Easing
oleh Jennie S. Bev
Kebijakan US Federal Reserve (FR) untuk melakukan Quantitative Easing (QE) dengan membeli bonds (obligasi) menggoncangkan pasar saham dunia, termasuk Jakarta. Nilai tukar Rupiah terhadap USD juga terusik. Seberapa dahsyat QE itu? Mengapa sangat “menakutkan”? Apakah QE berpotensi mengusik kestabilan ekonomi dunia, termasuk Indonesia?
Jawabannya tidak bisa simpel dalam satu kalimat. Ingat prinsip dasar ekonomi bahwa semakin banyak “dana murah” alias “easy money” atau “cheap money,” maka akan semakin berbahaya bagi kestabilan ekonomi. Mengapa? Karena “easy money” selalu menggiurkan bank untuk meminjamkan dana kepada konsumen dengan mengabaikan berbagai faktor resiko. “Cheap money” juga menimbulkan “rasa kesejahteraan yang semu” alias false sense of prosperity.
FR membeli obligasi sejumlah USD 85 miliar setiap bulan. Ini merupakan salah satu bentuk suntikan likuiditas ke dalam pasar dengan tujuan menggerakkan ekonomi. Semakin mudah uang didapat oleh konsumen melalui berbagi program kredit, semakin bergeraklah ekonomi yang sudah stagnan bertahun-tahun ini. QE baru dilakukan FR setelah bentuk-bentuk bailout dan stimulus lainnya gagal.
Dibarengi dengan suku bunga yang memang sudah sangat rendah mendekati nol selama beberapa tahun terakhir hingga saat ini, dana segar murah meriah semestinya mampu menggerakkan ekonomi AS. Namun bagaimana kenyataan pasar AS, masih perlu diamati. Angka pengangguran masih sangat luar biasa tinggi dan recovery ekonomi terjadi dengan minimnya pekerjaan penuh waktu, malah terjadi offshore outsourcing gila-gilaan.
Efek negatif “cheap money” yang dikombinasikan dengan “low interest rate” tentu menghasilkan return on investments yang rendah. Uang segar ini akan mengalir ke luar AS dalam bentuk berbagai investasi. Belanja besar-besaran dalam berbagai bentuk investasi akan dilakukan, termasuk meminjamkan kembali uang murah tersebut kepada berbagai pihak di luar AS.
Dana segar dan murah akan dinikmati di seluruh dunia, namun membawa resiko guncangan ekonomi. Bisa dibayangkan ketika bank-bank kelebihan dana. Banyak “uang mati” di bank. Konsekuensinya, bank mengobral uang pinjaman asalkan ada sedikit return on investments.
Ini yang terjadi di Krisis Ekonomi Asia 1997 dan Krisis Kredit Subprima AS 2008. Dana murah membuat semua pihak menjadi lengah. Terlena, akan terjadi pembangunan besar-besaran yang semua. Ini jelas dalam pembangunan properti, mengingat sektor ini sangat mengandalkan dana pinjaman bank. Proyek-proyek infrastruktur mercusuar juga merupakan indikator.
Akhir 1990-an yang diakhiri dengan Krisis Ekonomi Asia 1997, apakah krisis ekonomi akan terulang? Berbagai krisis dari politik, ekonomi dan sosial tergabung menjadi satu di Indonesia saat itu. Dari segi makroekonomi, krisis tersebut merupakan refleksi dari distorsi struktural dan kebijakan, di mana kebijakan-kebijakan perbankan sangat lemah bahkan monopolistik. Defisit neraca perdagangan serta hutang luar negeri serta pertumbuhan GDP yang tinggi namun “semu” merupakan faktor-faktor pendukung.
“The Asian Miracle” yang dicapai di tahun 1990an diukur dari tingginya GDP yang mendekati 10 persen. Menurut ekonom Paul Krugman, angka yang tinggi tersebut sesungguhnya merupakan TFP (Total Factor Productivity), bukan input growth dari GDP, sehingga GDP sesungguhnya sebenarnya lebih kecil.
Dana murah di tahun 1990an sebagai hasil dari liberalisasi sektor perbankan membanjiri negara-negara Asia sehingga TFP melejit tinggi. Ini bisa dibaca pula dalam beberapa tahun sebelum Krisis Subprima AS 2008, di mana “dana murah” diperoleh oleh bank-bank yang bermuka dua (commercial and investment) dari penjualan CDO (Collateralized Debt Obligations) yang merupakan produk perbankan derivatif yang terdiri dari paket-paket KPR subprima yang dijual di Wall Street. “Dana gampang” dari Wall Street ini dipinjamkan lagi ke konsumen dalam bentuk KPR-KPR subprima.
Kredit subprima sendiri merupakan konsep baru di mana KPR bisa dikucurkan hanya dengan membuat pernyataan akan kemampuan membayar cicilan bulanan dengan “stated income.” Ini artinya Anda hanya perlu membuat pernyataan sehingga underwriter bank menyetujuinya.
Dalam “stated income” pula, loan-to-value bisa diatur sedemikian rupa sehingga lebih dari 100% dengan asumsi harga properti tidak pernah turun. Ini sebenarnya merupakan mitos, bukan fakta sejarah. PITI (Principal, Interest, Taxes to Income) ratio sebenarnya sangat penting dalam analisa resiko underwriting, namun dalam kredit subprima, ini seringkali diabaikan.
Akar dari Krisis Subprima 2008 ini berasal dari dibukanya sekat antara commercial bank dengan investment bank yang diatur oleh kebijakan Franklin Delano Roosevelt 1933 Glass-Steagall Act. Penyekat ini fungsinya supaya tidak terjadi penjualan berbagai bentuk derivatif perbankan “beresiko tinggi” seperti CDO yang merupakan KPR konsumen di investment bank.
Kebijakan 1933 ini digantikan oleh kebijakan Bill Clinton 1999 Gramm-Leech-Bliley Act yang mengkonsolidasikan bank komersial, bank investasi, perusahaan asuransi, dan perusahaan sekuritas. Semua berada di tempat yang sama, maka terjadilah leverage CDO hingga 70 kali, yang arti “awam”-nya adalah dijual 70 kali di pasar derivatif. Sistem semakin lemah dan korup.
Quantitative Easing USFR 2013 membuka kembali peluang terjadinya gelembung ekonomi yang mengancam kestabilan ekonomi dengan “dana murah” dan “dana mudah”-nya. Efek di Indonesia belum terasa langsung sekarang, namun kita perlu waspada dengan memperhatikan berbagai indikator seperti neraca perdagangan, TFP dan GDP, debt-to-GDP ratio (resource balance gap), dan lainnya yang dibungkus oleh kebijakan-kebijakan ekonomi yang mudah-mudahan baik dan kuat.[]
KONTAN Daily, Jumat 30 Agustus 2013