Download KONTAN Daily Kisah Shopping di Mal Jakarta
oleh Jennie S. Bev
Di Jakarta, saya senang window shopping di mal karena tidak ada pilihan lain. Tidak ada taman publik yang memadai kecuali Taman Suropati di Menteng tempat kenangan ketika duduk di Taman Kanak-Kanak Waringin. Walaupun mal-mal di California tidak semuanya berlantai marmer dan granit, kerapian dan kebersihan mal-mal di Jakarta Pusat sekitar MH Thamrin dan Jend. Sudirman cukup terjaga.
Namun tetap ke-Indonesia-an mal-mal tersebut masih sangat terasa. Dari musiknya, jumlah pegawai, gaya pelayanan dan harga barang-barang impor jelas sangat berbeda dari toko-toko di negara-negara lain.
Selama window shopping, komparasi dan analisis terjadi secara alami di kepala. Biasanya saya perhatikan jumlah pegawai, cara mereka melayani, kejanggalan-kejanggalan toko dan pegawai, serta kualitas dan kuantitas produk yang ditawarkan. Produktivitas juga sangat mudah terbaca dari sikap dan kualitas servis.
Sekarang bandingkan dengan di AS di mana royalti perlu dibayarkan ketika sebuah lagu disiarkan di tempat publik. Kemungkinan besar di Indonesia ini tidak dilakukan. Tampak jelas dengan kafe-kafe dan toko-toko saling “balapan” musik di mal-mal. Belum lagi acara-acara khusus yang menggunakan DJ dan koreografer musik.
AS adalah negara yang menghormati HAKI, maka musik yang diputar di tempat-tempat publik wajib membayar royalti per lagu dan ini berarti tidak banyak jenis lagu yang diputar. Mengapa? Bukankah cukup merepotkan divisi hukum perusahaan yang memutar 100 lagu daripada hanya memutar 10 lagu saja?
Menghitung berapa kali suatu lagu diputar di tempat publik dikalikan jumlah lagu yang diputar dikalikan lagi dengan rate royalti per lagu, jelas memerlukan akurasi tersendiri. Belum lagi mengirimkan royalti tersebut ke 100 produser lagu, jika berlainan. Cukup repot.
Yang “mengganjal mata” selama window shopping di mal adalah adanya beberapa toko dengan jumlah SPG dan pramuniaga sangat banyak. Ya, mbludak. Pernah saya hitung ada 30 SPG di satu toko yang besarnya hanya sekitar 5 meter x 10 meter. Juga di konter booth penjual teh susu mutiara (pearl tea) ada yang sampai 10 orang. Luar biasa padat karya, padahal pekerjaan tidak banyak dan sudah ada CCTV yang mempermudah pengawasan dari para kleptomania.
Produktivitas yang terbaca: rendah. Pelayanan juga tidak sigap. Mengapa? Karena semakin banyak pegawai, semakin bergerombolan dan ngobrol dengan sesama. Distraksi di antara sesama pegawai cukup mengganggu. Belum lagi yang sibuk sendiri sehingga “tidak mendengar” ketika dipanggil oleh customer.
Ini sangat jarang dijumpai di negara-negara yang sering saya kunjungi. Kultur komunal di tempat kerja Indonesia sesungguhnya bisa dikurangi dengan pelatihan kerja efektif dan efisien. Juga pernah saya melihat seorang SPG bernyanyi-nyanyi di dalam toko dan menyuruh-nyuruh temannya ketika ia yang dimintai tolong oleh customer. Profesionalisme juga bisa pudar dengan over hiring alias terlalu banyak pegawai.
Bagi seorang globalis yang sering ke luar masuk berbagai negara, komparasi dan favoritisme terjadi secara otomatis. Apalagi dengan kenaikan pajak barang-barang impor yang termasuk kategori “barang mewah” yang mencapai 125 persen, satu kali terbang ke Singapura yang hanya memakan biaya IDR 550.000 dengan Air Asia akan terasa sangat ekonomis.
Terkaan Anda benar: mal-mal di Jakarta bersaing dengan mal-mal di negara-negara tetangga di era global dan regional ASEAN ini. Perbaikan adalah kebutuhan.
Dari pelayanan tidak profesional karena over hiring yang mengakibatkan rendahnya produktivitas, musik yang “balapan,” sampai harga barang impor yang luar biasa tinggi, mal-mal di Indonesia masih sangat perlu memperbaiki servis bagi kenyamanan customer. Kehilangan para pelanggan yang lebih suka belanja di negara-negara tetangga sudah menjadi resiko yang alami.
Satu hari shopping di Jakarta biasanya menyita paling tidak satu dua jam di jalan karena macet. Ini juga mengganggu kenyamanan berbelanja. Dapat dibayangkan betapa terganggunya konsumen ketika waktu sangat terbatas. Sebagai konsumen global, senangkah saya berbelanja di mal-mal Jakarta? Skor 6 dari 10. Hanya ini yang bisa saya berikan. Silakan renungkan dan perbaiki.[]
KONTAN Daily, Jumat 25 Oktober 2013