Download KONTAN Daily Memprogram Kebiasaan dan Willpower
oleh Jennie S. Bev
Aktivitas-aktivitas yang kita jalankan sehari-hari kebanyakan berdasarkan kebiasaan. Dalam Bahasa Inggris, istilahnya adalah “second nature.” Dengan melakukan sesuatu secara berulang-ulang, maka alam bawah sadar “merekam” ini sehingga bagian otak bernama basal ganglia mengambil alih tanpa perlu mengeluarkan terlalu banyak energi.
Para marketer mengenal betul ini. Pertama-tama yang diprovokasi adalah perhatian. Begitu mendapatkan perhatian, aksi terjadi. Kemudian kondisikan berulang-ulang yang memanifestasi menjadi perbuatan fisik, mental maupun emosional. Ujungnya adalah mendapatkan ganjaran positif alias reward, yang menyebabkan kebiasaan terjadi demikian otomatis.
Charles Duhigg, kelahiran negara bagian New Mexico, jurnalis investigatif New York Times dan lulusan Harvard MBA menuliskan konsep “kebiasaan” ini dalam buku laris The Power of Habit.
Dalam kasus Pepsodent, sebelum pasta gigi ini terkenal, tidak banyak orang yang menyikat giginya. Dengan strategi pemasaran bahwa menyikat gigi akan menghilangkan plak di gigi maka seseorang akan tampak lebih cantik dan tampan dengan gigi putih, Pepsodent berhasil menciptakan “ketagihan” akan menyikat gigi.
Dalam kasus Fabreze yaitu penetral dan penghilang bau ruangan produksi P&G, positioning awal gagal. Positioning ini memberikan solusi penghilang ruangan rumah, namun ternyata kebanyakan pemilik rumah tidak merasakan rumah mereka beraroma apapun. Ini karena penciuman yang telah terbiasa. Positioning kedua ternyata berhasil: Fabreze menjual aroma wangi yang disemprotkan ke ruangan setelah dibersihkan dan disemprotkan ke perabot agar segar. Fungsi awal sebagai penetral bau disubstitusi dengan penyegar ruangan dan perabot.
Dalam kasus roti sinamon bernama Cinnabon, para strategis memisahkan gerai mereka dari gerai-gerai lainnya di suatu food court. Biasanya, konter Cinnabon letaknya agak terpisah. Tujuan mereka adalah supaya wangi sedap roti mereka tidak berbaur dengan wewangian makanan lainnya. Dengan diciumnya keunikan wangi roti mereka, para strategis pemasaran berharap agar terjadi asosiasi wangi roti dengan roti dan rasanya yang enak. Asosiasi ini mengkondisikan basal ganglia sehingga terjadi pengkondisian di dalam diri konsumen agar mereka membeli dan menyantap produk-produk Cinnabon.
Ketiga produk ini memberikan rasa kepuasan tersendiri yang membentuk kebiasaan. Begitu konsumen terbiasa akan produk tertentu, maka sudah bisa dipastikan repeat consumption terjadi. Inilah puncak dari keberhasilan para strategis pemasaran. Kenaikan omzet bisa dipastikan merupakan efek langsung.
Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa salah satu strategi bisnis merek legendaris Starbucks adalah kekuatan pelatihan mereka.Ya, Starbucks adalah salah satu pendidik internasional dengan alumni lebih dari 1 juta orang. Mereka adalah para barista alias pembuat kopi dan pelayan toko di seluruh dunia. Inti dari pelatihan Starbucks adalah willpower alias semangat juang. Ini jauh lebih penting daripada sekedar nilai IQ seseorang.
Starbucks menjual segelas kopi seharga USD 4 sekitar 50.000 IDR. Cukup mahal bahkan untuk pasar Amerika yang terkenal tidak pelit. Untuk bisa menjual setinggi itu, Starbucks membangun kultur dengan gaya hidup yang tercermin dari gerai yang cozy dan nyaman, serta dengan para pelayan yang ramah dan punya “can-do attitude” yang tinggi. Cukup banyak para barista yang terbantu life skill-nya dengan pelatihan-pelatihan yang diberikan. Starbucks patut diberikan anugerah “the best corporate university” pengubah mindset dan attitude luar biasa.
Menurut periset willpower bernama Mark Muraven, semangat juang ini berbentuk: kesabaran (bentuk nyata ketabahan), kemampuan mengendalikan perasaan negatif, dan mengendalikan fokus. Ketiga bentuk willpower ini sangat berguna dalam melayani pelanggan serta sangat besar andilnya dalam kesuksesan seseorang.
Willpower itu semacam otot yang perlu selalu dilatih agar semakin kuat. Bisa kita perhatikan dari mereka yang bermental juara di bangku sekolah dan universitas. Semakin tinggi willpower seseorang, semakin besar kemungkinan ia sukses sebagai scholar dan di dalam masyarakat. Di Starbucks, kurikulum memfokuskan akan situasi-situasi tertentu di mana para konsumen mengeluh dan marah-marah. Para barista di-drill berulang-ulang sehingga respon yang tenang menjadi otomatis. Menjadi kebiasaan. Sebelum mereka bekerja di gerai sesungguhnya.
Saya sendiri sangat beruntung mempunyai sifat yang sabar dan bersemangat juang yang tinggi. Ini mungkin merupakan hasil dari hidup merantau yang memerlukan kesabaran dan kemampuan membela diri yang tinggi supaya bisa hidup dengan tenteram. Berbagai cara agar kebiasaan bisa dikondisikan dan menjadi bagian dari diri kita dan organisasi.[]
KONTAN Daily, Jumat 4 Oktober 2013