Download KONTAN Weekly Menjadi Startup Tangguh
oleh Jennie M. Xue
Kata “startup” kurang terdengar di Indonesia, padahal hampir setiap hari ada beberapa startup baru di sekitar kita. Kata “startup” seakan-akan dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan IT belaka. Miskonsepsi ini perlu direvisi. “Startup” adalah fase pertumbuhan awal. Dan ini bisa diterapkan di perusahaan dalam sektor apapun.
Dua kasus startup sukses bisa kita pelajari. Yang pertama adalah startup yang berhubungan dengan online advertising dan yang kedua adalah startup bioteknologi.
Kasus pertama. Salah satu pengusaha sukses yang saya kagumi di Silicon Valley adalah Gurbaksh Chahal, yang dikenal dengan nama panggilan “G.” Ia adalah seorang anak imigran keturunan Sikh yang mendirikan dan menjual beberapa perusahaan dotcom. Ia adalah an American Dream came true.
G adalah pendiri ClickAgents yang diakuisisi oleh ValueClick seharga USD 40 juta. Startup kedua yang ia dirikan adalah BlueLithium yang diakuisisi oleh Yahoo! seharga USD 300 juta.
Download KONTAN Daily Revolusi Digital Setiap Hari
oleh Jennie M. Xue
Setiap hari terjadi revolusi digitalisasi dalam inovasi. Tentu tidak kita sadari, karena mustahil kita bisa mengamati setiap inovasi baru di seluruh dunia. Salah satu revolusi digital yang sedang melanda dunia adalah pergeseran dari buku berbentuk kertas ke dalam bentuk buku digital alias ebook.
Di Indonesia, ini tentu belum terasa mengingat rendahnya minat baca penduduk serta kurang maraknya industri perbukuan. Di mancanegara, terutama di AS, pergeseran ke digitalisasi sangat menarik.
Salah satu buku yang cukup dalam mengupas proses inovasi dan dampak-dampaknya adalah The Innovator’s Dilemma oleh Clayton Christensen. Salah satu kasus menarik adalah kegagalan para produsen musik untuk mempopulerkan musik digital MP3 dan MP4 yang akhirnya dipopulerkan oleh Apple dengan iTunesnya.
Bayangkan produk-produk sebelumnya, seperti CD yang menggantikan kaset, DVD menggantikan Beta dan VHS, streaming video yang menggantikan DVD, email yang menggantikan faksimili, dan Internet yang menggantikan suratkabar yang tiap pagi diantarkan tukang koran. Memang produk-produk yang digantikan tersebut masih ada, namun sudah tidak lagi menjadi produk utama. Produk-produk kadaluwarsa tersebut menjadi niche product.
The Marina Bay
Photo by Mandarin Oriental
Download KONTAN Weekly Sastra Bisnis Keindahan
oleh Jennie M. Xue
Karya-karya sastra Shakespeare merupakan best-seller sepanjang masa. Sayangnya, penulis besar ini sudah almarhum dan karya-karyanya sudah tidak lagi menghasilkan royalti karena sudah berada di dalam “public domain.” Perlindungan hak cipta atas suatu karya sastra adalah sepanjang hidup penulis ditambah 50 tahun setelah kematiannya. Biasanya, penerima royalti pasca kematian adalah para ahli waris.
Jika ada sastrawan/wati yang masih hidup dan meraup royalti luar biasa, apakah mungkin? Jika ya, bagaimana caranya? Namun bukankah “keindahan hanya semata-mata untuk keindahan”? “Keindahan yang menjadi bisnis, bagaimana statusnya?”
Di zaman modern ini, kita kenal berbagai best-selling books yang telah diadaptasi menjadi film, computer games, smartphone apps, dan cinderamata. JK Rowling dengan seri Harry Potter dan Stephenie Meyer dengan seri Twilightnya, serta EL James dengan Fifty Shades of Grey mungkin kita kenal sekarang sebagai karya-karya kultur pop yang diminati para pembaca novel-novel ringan penuh plot-plot yang mencengangkan.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa karya-karya tersebut adalah karya sastra kontemporer. Contemporary literature.
Menurut Profesor Sastra dari Harvard Marjorie Garber, suatu karya dipandang sebagai “sastra” karena statusnya, bukan karena segala macam pernak-pernik format dan struktur atau “kualitas” yang subyektif. Suatu karya dipandang sebagai “sastra” apabila dipandang penting, dipelajari, dibaca, dan dianalisis dengan metode kesusasteraan.
[Read directly at TheJakartaPost.com.]
by Jennie M. Xue, Singapore
Easter is approaching, a special day for Christians worldwide. It is the day that Jesus Christ was resurrected three days after his crucifixion at the Calvary. Jesus was the ultimate activist, who defended the poor, the sick and the weak. His exemplary leadership has inspired billions of people worldwide for more than 2,000 years.
Today, Christ’s heroic leadership has been the model of Pope Francis’ leadership.
His face was on the covers of Time and Rolling Stone magazines. He was Time’s 2013 Person of the Year. It seemed that Pope Francis has won people’s hearts, regardless of their religious affiliations. He has bridged Christianity with the world.
From the start, this new pope has created splashes with inspiring words about homosexuals, atheists and the others disenfranchised individuals.
He also chose to maintain a modest lifestyle by refusing to be driven around in the papal limousine. Instead he chose a modest sedan as his daily transportation means. He chose to live in a regular guest room instead of in the grand papal apartment.
He chose not to have anti-bullet shield for his visiting vehicle, instead an open one. He continued to be close to the people. He was joyful when meeting people, sitting on a chair of the same level with others. He isn’t scared of death threats or stray bullets.
Jorge Mario Bergoglio was voted the new pope by 115 cardinals at the Sistine Chapel, St. Peter’s Square in the Vatican. On the night of March 13, 2013, he chose Francis as his papal name.
Continue reading "Easter and the Age of Heroic Leadership" »
I have been working from home since 2005, when I moved from Daly City in San Mateo county to Mountain House in San Joaquin county. Recently, I work out of my laptop in various cities and countries, sometimes even out of airports. Still, my favorite place to work is my earthy-toned home office with wooden flooring.
Download FORBES May 2014 Business Success as Outlier
by Jennie M. Xue
Contrary to what motivational speakers believe, Malcolm Gladwell posited that many variables are at play in “successful” individuals: they are more than intelligent, courageous, and persistent in achieving goals. They are “outliers,” meaning that success is an accumulation of, among others, consistent training of 10,000 hours in five years, good “entry” timing, which part of town or country you were born in, who your parents are, what economic era you were born in, and which month of the year you were born in.
On top of these, one must have sufficient talents and skills to showcase to the world. The same also applies with products and services that businesses offer. Being an outlier certainly helps a business and outliers can help it even more.
First things first, let us discuss the traits of an outlier business.
Which businesses are “outliers”? Amazon is definitely one. It had the advantage for being one of the first players in the online retail world. It also started with one of the easiest products to market: books. It was founded in 1994, when the Internet was in its infancy, so it enjoyed almost non-existent barriers of entry. Being a pioneer in the field is definitely an outlier element.
Amazon was established in Seattle. It is the home of Microsoft, Starbucks, Nordstrom and Boeing. Thus, it is home to a pool of highly-educated individuals. Great timing, great headquarters location, and a great business model.
Download KONTAN Weekly Menjadi Amazonian
oleh Jennie M. Xue
Di Silicon Valley dan Seattle, salah satu tempat kerja idaman adalah Amazon.com. Jika Anda diterima bekerja di sana, maka bisa dipastikan Anda mempunyai kualitas tersendiri. Demikian pula jika Anda diterima kerja di Google atau Apple. Google lebih banyak diminati para Generasi Milenial sedangkan Apple lebih diminati oleh mereka yang lebih dewasa.
Amazon dikenal dengan multi-tasking dan serba bisa. Ini tercemin dari jumlah produk jutaan yang dijual di Amazon.com Web site retailer belanja mereka. Apa saja dari vibrator hingga buku-buku New York Times best-seller hingga makanan bayi dan perlengkapan tidur. Mungkin hanya binatang eksotik saja yang tidak dijual mereka.
Amazon dikenal sebagai retailer yang sekarang menjadi produser sekaligus distribution channel yang luar biasa menggurita. Ukuran sukses sudah bukan lagi keuntungan, mengingat setiap unit bisnis baru memerlukan waktu untuk ROI dan BEP. Ukuran sukses adalah pertumbuhan cepat luar biasa.
Untuk itu, Amazon membutuhkan para eksekutif, insinyur komputer, programmer, dan anggota tim yang ambisius, yang mampu mewujudkan target menjadi kenyataan. Seleksi penerimaan karyawan baru merupakan kunci suksesnya. Di sini, ketrampilan penting, namun lebih penting lagi adalah karakter dan inventaris kepribadiannya.
Download KONTAN Daily Negative Thinking Kultur
oleh Jennie M. Xue
Berpikir negatif sesungguhnya merupakan hasil programming tubuh kita sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Pikiran-pikiran negatif merupan “alarm system” yang memperingati kita dari kemungkinan-kemungkinan serangan dari luar, sehingga kita bisa mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Programming ini telah mengisi otak kita bagian “insting primitif” yang merupakan salah satu instrumen survival skill.
Yang menarik dari “programming” negatif ini adalah: pikiran negatif lebih sering salah daripada pikiran positif, menurut para pakar psikologi dan neuroscience. Pikiran-pikiran negatif agak sulit untuk diabaikan dan dihentikan, sehingga sebaiknya memang tetap diobservasi. Pikiran-pikiran negatif diperlukan dalam setiap fase kehidupan individu, termasuk perkembangan organisasi.
Lantas bagaimana dengan “berpikir positif” yang banyak dielu-elukan oleh para coach dan motivator? Sesungguhnya “pikiran positif” adalah suatu usaha untuk melawan pikiran-pikiran negatif yang lebih alami daripada pikiran positif. Proses eliminasi pikiran-pikiran negatif memerlukan usaha yang besar mengingat ini berarti melawan programming tubuh.
Yang sesungguhnya terjadi di dalam pikiran ketika Anda berpikir positif adalah “menutupi” alias “membaluti” pikiran-pikiran negatif “default” programming ribuan generasi. Pikiran-pikiran positif tidak bisa mengatasi masalah, menurut para pakar psikologi dan neuroscientists.
Observasi pikiran negatif dan mengkritiknya secara terbuka jauh lebih baik daripada meredamnya dengan pikiran-pikiran positif. Memang berpikir positif dapat menghibur hati dan membuat perjalanan hidup dan aktivitas terasa sedikit lebih indah. Namun yang membuat seseorang sukses bukanlah segala macam afirmasi dan pikiran-pikiran positif yang menggantikan pikiran-pikiran negatif secara “paksa.”
Download KONTAN Daily Kultur Kolaboratif
oleh Jennie M. Xue
Deborah Pruitt adalah seorang antropolog dengan PhD dari University of Californiat at Berkeley. Sebagai seorang mantan eksekutif di bidang pemasaran untuk sebuah perusahaan elektronik, ia pernah mengalami politik kantor dan mismanajemen yang tipikal. Dengan Ilmu Antropologi-nya, ia berhasil memahami dengan baik bahwa keberhasilan suatu grup membutuhkan kultur kolaboratif.
Apa saja yang dimaksud dengan “kultur kolaboratif”? Mengapa kultur ini jauh lebih penting daripada sekedar seorang pemimpin yang karismatik dan kerja sama yang suportif?
“Kultur kolaboratif” berporos pada anyaman unsur-unsur yang membentuk dan membangun grup. Jadi keputusan bukanlah dibentuk di atas untuk diterapkan di bawah. Bukan top-down yang kaku dan mengintimidasi. Kultur sendiri merupakan domain dan kerangka di mana setiap individu bisa menentukan sikap dan keputusan yang akan diambil.
Pada dasarnya, sekelompok individu yang sering bertemu dan berinteraksi satu sama lain akan membentuk “kultur” tersendiri. Yang penting bagi suatu grup adalah kultur yang mendorong tercapainya target-target dan misi yang diharapkan dari awal. Sudah menjadi “rahasia umum” bahwa kultur mainstream Indonesia sering kali kurang memperhatikan pentingnya “kultur per grup” yang sangat menentukan keberhasilan kolektif.