Jennie M. Xue: Inspirasi Dot Co

March 16, 2014

Era Emas Penulis Digital

[Baca langsung di Inspirasi.co.]

oleh Jennie M. Xue

Menulis produktif merupakan kunci sukses seorang penulis profesional. Dalam 15 menit, saya akan selesaikan tulisan pendek ini. Jumlah kata: 600. Dan ini berarti dalam satu hari saya punya kesempatan untuk menuliskan 10 artikel pendek seperti ini, dengan asumsi menyisihkan waktu 150 menit atau 2.5 jam saja.

Jika tidak ada aral melintang, gol saya dalam satu tahun di muka adalah menyelesaikan dan menerbitkan 100 ebook pendek untuk Amazon.com Kindle. Terminologi yang digunakan adalah "Kindle Single." Ini adalah bentuk long-form journalism alias jurnalisme narasi, sebagaimana yang dipopulerkan oleh New Yorker, Walrus, dan The Atlantic Monthly. Juga The American Scholar.

Tulisan-tulisan tersebut termasuk panjang untuk ukuran jurnalisme "umum" dengan jumlah kata mencapai 10.000 sampai 20.000. Namun tulisan-tulisan tersebut termasuk pendek untuk ukuran buku yang biasanya mencapai 50.000 kata atau lebih. Jika buku-buku fiksi ukuran umumnya disebut "novel," maka Kindle Single disebut "novella."

Sejak tahun 2009, penjualan ebook di Amazon meroket luar biasa, bahkan melebihi penjualan buku-buku cetak (selanjutnya disebut sebagai "pbook"). Fenomena luar biasa ini telah melahirkan "digital author" alias para penulis spesialis ebook alias buku-buku elektronik. Para digital author yang luar biasa penjualannya dikenal sebagai "Kindle Millionaire," suatu fenomena yang telah mendapatkan perhatian media-media internasional dan pengamat dunia digital.

Buku elektronik pertama saya diterbitkan tahun 2002 oleh FabJob.com Inc yang bermarkas di Vancouver, Canada. Buku tersebut ber-genre how-to yang mengajarkan pembaca bagaimana memulai bisnis sebagai seorang management consultant. Apa saja yang perlu dipersiapkan, bagaimana memupuk ketrampilan, dan bagaimana memasarkan jasa mereka. Saat itulah saya berkenalan dengan electronic publishing.

Continue reading "Era Emas Penulis Digital" »

Mar 16, 2014 9:41:38 PM | Inspirasi Dot Co, Writing

March 07, 2014

Meruntuhkan Mitos "Penulis Miskin"

[Baca langsung di Inspirasi.co.]

oleh Jennie M. Xue

Menulis bisa membuat kaya secara finansial. Minimal, bisa membuat independen secara finansial. Mungkin tidak banyak dari antara kawan-kawan penulis yang menyadari hal ini. Dan bagi yang berjiwa "idealis," ini mungkin terdengar "melanggar" idealisme. Karena, bukankah menulis itu adalah "panggilan jiwa"? Bukankah menulis itu adalah suatu “kehormatan,” mengingat kebanyakan orang mengalami kesulitan untuk menulis dengan baik dan benar? Bukankah menulis itu merupakan suatu kebahagiaan tersendiri yang bersifat "spiritual"?

Bagi saya, menulis merupakan bagian hidup.

Setiap individu menulis dalam kemampuan masing-masing. Ada yang kemampuan nalarnya baik, namun kemampuan menuangkan ide-ide dalam bentuk tulisan agak kurang baik. Ada juga yang kemampuan menulis baik, namun kemampuan nalarnya kurang. Belum lagi ketika kita berbicara mengenai kemampuan membuat struktur, fluiditas, dan indahnya kalimat.

Dalam garis besar, seseorang menulis dengan kemampuan teknikal terbatas, kemampuan fungsional rata-rata maupun sedikit di atas rata-rata, dan kemampuan kultural yang holistik jauh di atas rata-rata. Seorang penulis biasanya mempunyai kemampuan kultural holistik yang sangat baik. Untuk ini, biasanya para penulis melatih diri dengan banyak membaca dan banyak menulis dengan berbagai tujuan.

Saya sendiri "berhutang" hidup kepada kemampuan menulis. Dengan dua bahasa yang saya kuasai sungguh-sungguh, "pasar" pembaca cukup besar. Apalagi dengan penguasaan berbagai gaya penulisan, perbendaharaan kata, serta pemasaran melalui Internet (Internet marketing).

Dilahirkan dari keluarga sederhana, kemampuan bekerja dengan baik dan menjadi independen secara finansial merupakan cita-cita sederhana saya. Menulis memungkinkan hal ini. Apalagi dengan bantuan Internet sebagai "wujud dunia dalam bentuk tertulis.”

Continue reading "Meruntuhkan Mitos "Penulis Miskin"" »

Mar 7, 2014 7:02:01 AM | Inspirasi Dot Co, Journalism, Writing

February 20, 2014

Living in the Future: My Life in Silicon Valley

[Read directly at Inspirasi.co.]

By Jennie M. Xue

Time travel fascinates me. Einstein’s Theory of Relativity provides a scientific avenue for a possibility of time travel --no matter how slight. Naturally, I’m also inclined to things about the future. The scientific term is “futurology,” the study of anything related to the future.

Having resided in Silicon Valley for more than 15 years, I have come to realize many things that are beyond a regular Jane or Joe’s comprehension. The social, political, economic, and technical dimensions of life in this region are likely to follow a direction that only those who think into the future can completely comprehend.

I’m fortunate to have found a place where I can be my progressive self without any reservation.

Things in Indonesia are so "upside down." It is conservative and traditional, even feudalistic. People in this region are far from being progressive, especially in the matter of innovation and dissemination of ideas.

Silicon Valley is a welcoming melting pot where the brightest and the most innovative and progressive individuals and corporations reside. Silicon Valley is a spiritual place where we can live modestly without exaggerating physical wealth. Silicon Valley is a place where one’s original mind matters more than physical appearance.

For instance, in Silicon Valley, one doesn’t need to have an engineering degree or even any degree to be a software programmer or tester. In Indonesia, most formal jobs require related degrees, despite the actual usefulness. People in Indonesia also appreciate all kinds of tangible things and formal designations. Intellectual properties are merely respected to a certain degree limitedly, which is a shame.

Dropouts are highly appreciated in Silicon Valley, because their merits speak much louder than a piece of paper. Steve Jobs, Bill Gates, Eric Schmidt, Larry Page, Mark Zuckerberg, and Matt Wullenweg were all dropouts. In this age of 24/7/365 interconnectedness, what you know is more important than where you study.

Continue reading "Living in the Future: My Life in Silicon Valley" »

Feb 20, 2014 7:14:31 AM | Business, Economy, Education, Inspirasi Dot Co