Download KONTAN Weekly Gila Kerja Efisiensi
oleh Jennie M. Xue
Para pialang saham di Wall Street yang baru-baru ini difilmkan dalam Wolf of Wall Street dengan Leonardo DiCaprio sebagai pemeran utama mempertontonkan gaya hidup workaholik gila-gilaan. Gaya hidup ini seakan-akan “menghalalkan segala cara” sehingga mengusik nurani bagi yang tidak terbiasa dengan gaya hidup di “jalan tol” seperti itu. “Gila kerja” dan workaholik hingga mengubah standar moral jelas berbeda dari sekedar “gila-gilaan kerja” belaka.
Namun baik “gila kerja” maupun “gila-gilaan bekerja” sama-sama membawa implikasi buruk bagi diri individu sendiri maupun perusahaan. Bagi perusahaan, ketika semua orang bekerja lebih dari sepuluh jam sehari, sudah saatnya untuk mulai mencari darah segar yang bisa membawa pembaruan di setiap unit kerja. Juga untuk meningkatkan efisiensi. Apalagi biaya yang diperlukan untuk mempekerjakan seseorang di Indonesia cukup “terjangkau” jika dibandingkan dengan standar gaji di negara-negara maju.
Menurut penelitian sembilan tahun Alexandra Michel, seorang pengajar di University of Pennsylvania dan pernah bekerja sebagai associate di Goldman Sachs investment bank, mereka yang berkarir di Wall Street menghabiskan 120 jam per minggu dengan bekerja. Ini berarti 24 jam per hari selama 5 hari kerja berturut-turut bekerja.
Kok bisa bekerja 24 jam per hari? Karena di era serba instan dengan berbagai gadget elektronik dan high-speed Internet, konektivitas dan jawaban instan sudah menjadi kultur dan fakta. Tidak ada lagi dinding pembatas, yang ada hanyalah berbagai gadget elektronik yang berfungsi sangat baik.
Ketika mereka pulang ke rumah yang seyogyanya untuk beristirahat pun, mereka menjawab teks-teks SMS, BBM, Whatsapp dan email. Tidak jarang mereka pun duduk di belakang meja kerja kantor atau di kamar tidur dengan seonggok kertas yang perlu dimasukkan datanya di akhir pekan. Dengan kata lain, gaya hidup sekarang menekankan jawaban-jawaban instan.